(Legenda) Asal Mula Penamaan Pedukuhan “Jati Pelag” Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal

Kisah ini bersumber dari obrolan santai antara penulis dengan ayahanda penulis secara kebetulan sekitar tahun 2019 silam yang merupakan bagian dari warga pedukuhan Jati Pelag. Tulisan ini bercerita mengenai asal muasal dari penamaan “Jati Pelag” yang digunakan sebagai nama dari suatu pedukuhan Desa Semboja yang berada di Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Beberapa orang mungkin sudah mengetahui kisah dibalik penamaan pedukuhan Jati Pelag meski hanya secara garis besarnya saja. Setidaknya untuk saat ini. Ya… untuk saat ini. “Kenapa dinamakan Jati Pelag ya?” pertanyaan itu akan muncul suatu saat nanti. Bahkan untuk saat ini pun penulis sangat yakin bahwa beberapa orang masih belum mengetahui kisah dari asal muasal penamaan pedukuhan “Jati Pelag”.

Kisah rakyat yang diwariskan dari mulut ke mulut lewat dongeng yang diceritakan ke anak-anak akan terkikis zaman dengan sendirinya, kemudian lenyap dan menyisakan tanda tanya besar. Hal ini terjadi karena keterbatasan daya ingat manusia itu sendiri. Semakin lama semakin lupa, dan akhirnya mengada-ada. Namun tulisan adalah ilmu yang bisa diwariskan sepanjang zaman selama tulisan itu masih ada dan terjaga.

Atas dasar itulah penulis merasa perlu untuk menuliskan kisah ini yang semoga dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca sekalian. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi setiap orang yang penasaran utamanya bagi para warga pedukuhan Jati Pelag yang penasaran dengan legenda tanah kelahirannya. Penulis memastikan bahwa kisah yang akan anda baca tidaklah 100% benar. Segala bentuk kekeliruan dan perubahan versi cerita sangat mungkin terjadi akibat dari faktor kesalahpahaman narasumber maupun faktor kesalahan penulis dalam menulis cerita. Oleh karenanya, bijaklah dalam menyaring informasi. Selamat membaca~

Al-Kisah…

Pedukuhan Jati Pelag merupakan salah satu dari empat pedukuhan kecil di Desa Semboja Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal. Adapun ketiga pedukuhan yang lain meliputi Pedukuhan Sumbregan, Pedukuhan Bojong Sari, dan Pedukuhan Jurang Jero. Nama “Jati Pelag” berasal dari gabungan dua kata, yakni “Jati” yang bermakna Pohon Jati dan “Pelag” berasal dari kata nyelag yang dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan tersisip atau terjepit.

Kepadatan penduduk Jati Pelag kala itu jelas belum sepadat sekarang. Jarak antar rumah warga masih berjauhan, ada banyak lahan kosong dimana-mana yang mayoritas diisi dengan tanaman Jati (Pohon Jati). Berbagai Pohon Jati yang tumbuh rindang nan lebat menjadi sebuah karakteristik unik yang dimiliki pedukuhan ini, utamanya disisi Utara pedukuhan (sekarang disebut blok Iwil-iwil) dan sisi Tenggara (sekarang disebut Talang). Sebuah tempat yang asri namun mencekam kala malam tiba. Berbagai praktek ilmu hitam sudah menjadi hal yang wajar lantaran ilmu agama belum begitu meresap dalam hati penduduknya. Hukum rimba masih ada, dimana yang kuatlah yang berkuasa. Tak ayal banyak tokoh masyarakat berlomba-lomba menimba ilmu sesat demi sebuah kesaktian dan kehormatan.

Alkisah dimulai sekitar dua generasi silam. Dikisahkan salah seorang warga Pedukuhan Jati Pelag bernama “Mbah Demu”, sosok yang sakti mandraguna sehingga menjadikan namanya amat tersohor pada masanya. Setiap orang yang mengenalnya hampir tak memiliki cukup nyali untuk menantangnya.

Dahulu pedukuhan ini memiliki sebuah tradisi seni kebudayaan yang bernama “Dogeran” singkatan dari di dodog geger (makin ditabuh makin rame). Sesuai namanya kesenian ini menggunakan alat musik gamelan yang dimainkan oleh sekelompok orang dilengkapi dengan empat hingga lima penari wanita. Pemain yang tampil berasal dari berbagai daerah. Kesenian ini sudah sangat mendarah daging dan menjadi sebuah euforia tersendiri bagi warga masyarakat khususnya Pedukuhan Jati Pelag -yang kala itu belum memiliki nama-. Hiburan semacam ini tentunya menarik banyak warga masyarakat untuk berkumpul menikmati acara yang berlangsung. Ada yang ikut menari sembari menggoda sang penari wanita, ada juga yang sekedar menyantap sajian makanan yang tersedia. Mereka menikmatinya dengan caranya masing-masing.

Singkat cerita di suatu malam saat acara dogeran tengah berlangsung, seorang wanita yang teramat cantik tampil menunjukkan kelihaiannya sebagai seorang penari dogeran. Kecantikan parasnya membuat banyak lelaki yang menatapnya terpesona dan jatuh hati padanya tak terkecuali Mbah Demu sendiri. Ketatnya perselisihan menyulut api cemburu manakala ada lelaki lain yang mencoba mendekatinya. Rasa cemburu tak hanya terjadi dikalangan laki-laki, namun juga dikalangan perempuan yang iri dan dengki melihat kecantikaanya. Apalagi jika mengetahui bahwa suaminya ikut terlibat dalam memperebutkan sang penari. Persaingan tidak sehat hingga beradu kesaktian menjadi hal yang dihalalkan demi mendapatkan sang pujaan hati.

Tak heran jika banyak laki-laki yang tertarik mengajaknya jalan-jalan dan makan bersama seperti yang dilakukan remaja modern saat ini. Sang penari cantik yang tidak diketahui namanya itu dengan senang hati akan menerima tawaran dari setiap laki-laki yang mengajaknya. Karena pada dasarnya setiap orang suka bila di puji oleh orang lain.

Mbah Demu, meski sakti mandraguna namun tidak menjadikannya manusia yang tamak. Kericuhan yang terjadi dalam rangka memperebutkan sang penari cantik membuatnya geram. Ia tidak khawatir kehilangan sang wanita, namun ia marah manakala melihat kerusuhan yang terjadi. Lantaran dampak yang ditimbulkan dari persaingan ini menjadikan setiap warga dengan gampangnya memutus tali persaudaraan di antara mereka.

Suatu malam tepat sebelum dilangsungkannya seni dogeran, Mbah Demu dengan niat menghilangkan kerusuhan dan berharap semua warga dapat hidup rukun seperti sedia kala, ia bermaksud menyingkirkan si penari cantik yang dianggapnya sebagai biang keladi dari kerusuhan ini. Dibuatlah olehnya sebuah rencana untuk mengajak si penari cantik pergi berkeliling. Si penari cantik yang sudah terbiasa mendapat rayuan dari para lelaki membuatnya tak menyadari kebusukan dari rencana yang sudah disiapkan oleh Mbah Demu. Di ajaklah sang penari cantik oleh Mbah Demu ke suatu tempat sepi yang jauh dari keramaian warga. Sebuah tempat gelap yang tertutupi oleh rindangnya Pohon Jati yang tumbuh menjulang tinggi tak beraturan.

Setelah memastikan tidak ada satupun warga yang melihatnya, terjadilah pembunuhan sang penari cantik oleh Mbah Demu. Diangkatnya tubuh sang penari cantik dan diselipkannya secara paksa diantara dua Pohon Jati besar yang tumbuh saling menyilang. Sontak sang penari cantik terkejut dan berteriak meminta tolong. Dengan tubuhnya yang mungil membuatnya tak berdaya untuk dapat lolos dari himpitan keras dua Pohon Jati tersebut. Kesakitan yang di alami sang penari cantik membuatnya berteriak sekencang mungkin dan berharap ada seseorang yang mau datang untuk menolongnya.

Disisi lain, di tempat dogeran yang terbilang cukup jauh dari lokasi pembunuhan ditambah dengan kebisingan dari acara dogeran yang tengah berlangsung, membuat teriakan sang penari cantik tak sampai ke telinga para warga yang tengah menikmati seni dogeran. Suasana yang ramai serta lantunan musik gamelan tak sebanding untuk dilawan dengan teriakan seorang wanita biasa. Tak kuasa menahan rasa sakit, sang penari cantik pun tunduk pada takdirnya dan membuatnya kehilangan nyawa dalam kondisi yang cukup tragis.

Sang penari cantik, sosoknya yang ditunggu-tunggu penampilannya tak kunjung terlihat di tengah acara sehingga membuat para warga saling mengalihkan pandangan berusaha mencari letak keberadaannya. Semakin lama, warga semakin cemas dan bingung. Karena khawatir terjadi hal yang buruk, dilakukanlah pencarian oleh para warga setempat guna menemukan keberadaan dari sang penari cantik. Nahas, setelah ditemukan sang penari cantik sudah dalam kondisi tak bernyawa. Para warga beramai melepaskan jasad sang penari cantik dari himpitan Pohon Jati yang telah meremas badannya. Dan dikebumikanlah jasad sang penari cantik oleh warga setempat (hingga saat ini penulis belum mengetahui letak keberadaan makamnya).

Saat itu sudah banyak warga yang mulai menerka dan mungkin saja ada saksi mata yang menyaksikan kejadian tragis tersebut secara diam-diam namun tak berani “bersuara”. Meski begitu, atas kesaktian yang dimiliki oleh Mbah Demu, siapa yang berani untuk menegur apalagi sampai menantang adu kesaktian dengannya? Mungkin kiranya itulah yang membuat para warga lebih memilih pasrah untuk menerima kenyataan yang ada di depan matanya dari pada harus mencari perkara dengan Mbah Demu.

Dari sinilah banyak masyarakat setempat mulai menyebut daerah ini dengan nama “Jati Pelag”. sebuah nama yang diambil dari peristiwa terhimpitnya seorang wanita diantara dua Pohon Jati. Sayangnya penulis tak menyetahui plesetan kata “Nyelag” menjadi “Pelag”. Mungkin ini ada kaitannya dengan gaya bahasa masyarakat kala itu.

        Sekali lagi penulis ingatkan, kisah ini TIDAK 100% BENAR namun bukan berarti 100% salah. Cukuplah untuk dijadikan sebagai legenda saja. Wa Allahu A’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pencak Silat, Warisan Budaya Bangsa